Kasus Tambang Bre X Minerals Ltd.
1. History
Bre-X Mineral Ltd
Bre-X
Minerals Ltd., anggota Kelompok perusahaan Bre-X, adalah sebuah perusahaan
tambang Kanada yang pernah dilaporkan
menguasai sebuah cadangan emas yang sangat
besar di Busang, Kalimantan. David Walsh adalah pendiri
perusahaan ini pada awal tahun 1988. Bre-X membeli situs Busang pada
Maret 1993 dan pada Oktober 1995 mengumumkan
telah menemukan emas dalam jumlah yang sangat besar, sehingga menyebabkan harga
sahamnya membubung tinggi. Pada mulanya sahamnya bernilai sangat kecil, namun
setelah pengumuman itu, harga sahamnya mencapai nilai tertinggi pada $286.50 (dolar Kanada) di Toronto Stock
Exchange (TSX), dengan kapitalisasi total senilai lebih dari $6
miliar dolar Kanada.
Cadangan
emas di Busang dilaporkan sebesar 200 juta ounces (6.200 ton), atau sama dengan
8% dari seluruh cadangan dunia. Namun, ternyata ini adalah penipuan
besar-besaran, dan di sana tidak ada emas. Sebuah laboratorium independen
belakangan mengklaim bahwa penipuan itu telah dilakukan dengan buruk, termasuk
dengan menggunakan pengerokan dari perhiasan emas. Pada 1997,
Bre-X runtuh dan sahamnya menjadi tidak bernilai dalam skandal saham terbesar
dalam sejarah Kanada. Bre-X akhirnya dinyatakan bangkrut pada 2002 meskipun sejumlah
perusahaan subsidernya seperti Bre-X berlanjut hingga 2003.
2. Opini
seseorang tentang Bre X
Dalam
bukunya yang berjudul “Sebungkah Emas Di Kaki Pelangi”, pria bernama lengkap
Bondan Haryo Winarno ini melakukan investigasi terhadap sebuah perusahaan yang
melakukan penambangan emas di Busang, Kalimantan Timur. Perusahaan tersebut
adalah Bre X Minerals Ltd, sebuah perusahaan tambang yang berpusat di Calgary,
Kanada. David Walsh mendirikan perusahaan ini pada awal tahun 1988.
Pertemuan
David Walsh dengan John Felderhof menjadi awal dari kisah penipuan ini. Pada
Maret 1993, Felderhof dan Walsh mengadakan suatu pertemuan di Jakarta. Dalam
pertemuan tersebut, Felderhof berhasil membujuk Walsh untuk mendanai eksplorasi
emas di Busang, Kalimantan Timur. Felderhof menyarankan agar Walsh mengakuisisi
properti milik Montague Gold NL yang telah dieksplorasi antara tahun 1987-1989.
Namun karena tidak memiliki dana untuk mengakuisisi properti tersebut, Walsh
pun kembali ke Kanada. Disana ia segera meniup terompet Bre-X dan menawarkan sahamnya
di Alberta Stock Exchange bermodalkan potongan-potongan artikel dari koran.
Dalam
waktu singkat, David Walsh segera memperoleh dana yang ia butuhkan berkat
kepiawaiannya menjual saham. Pada Juli tahun 1993, Bre X akhirnya membeli
properti milik Montague Gold NL tersebut. Dua bulan kemudian, perusahaan ini
telah mulai melakukan pengeboran di Busang. Dalam pengeboran pertama ini, John
Felderhof yang kemudian menjadi Senior Vice President Bre-X, mengatakan telah
menemukan adanya potensi emas sejumlah 1,5 hingga 2 juta ons disana.
Setelah
pengeboran pertama tersebut, jumlah potensi emas yang ditemukan oleh Bre-X
semakin meningkat. Hingga Februari 1997, Bre-X mengatakan potensi emas di
Busang mencapai 70,95 juta ons emas. “The biggest thing in the world! It’s so
big. It’s scarry. It’s so fucking big!” kelakar Felderhof waktu itu.
Harga
saham Bre-X yang pada tahun 1989-1992 berkisar antara 27 sen dollar Canada,
bahkan pernah mencapai dua sen saja, akhirnya meningkat setelah penemuan ini.
Pada Mei 1996, harga saham Bre-X yang tercatat di Toronto Stock Exchange bahkan
sempat mencapai tingkat 201,75 dollar Canada.
Namun,
ledakan saham Bre-X ini tak berlangsung lama. Sekitar sepuluh bulan kemudian,
tepatnya pada Maret 1997, Freeport-McMoRan menyatakan bahwa jumlah potensi emas
di Busang tidaklah besar. Bahkan, Strathcona Mineral Services, sebuah
perusahaan penguji yang diminta Bre-X untuk menguji potensi emas di Busang
mengatakan, “there appears to be a strong possibility that the potential gold
resources has been overstated, because of invalid samples and assaying of those
samples.”
Harga saham Bre-X pun
lantas jatuh. Sangat jatuh. Pada Mei 1997, harga saham Bre-X terpuruk hingga
mencapai delapan sen.
To: Mr. John B.
Felderhof + All My Friends
Sorry I have to leave.
I cannot think of
myself a carrier of hepatitis “B”.
I cannot jeopardise
your lifes, same w/ my loved ones.
God bless you all.
No more stomach pains!
No more back pains!
Surat di atas ditulis
oleh Michael Antonio Tuason de Guzman, Manajer Eksplorasi Bre-X Corp, sebelum
ia mengakhiri hidupnya. Tak seorang pun yang mengira bahwa geolog
berkewarganegaraan Filipina ini akan bunuh diri. Malam sebelum ia bunuh diri,
tepatnya pada 18 Maret 1997, ia bahkan sempat bersenang-senang di sebuah tempat
minum di Balikpapan bersama teman-temannya. Rudy Vega, seorang ahli metalurgi
dari Filipina yang juga teman De Guzman yang ikut dalam kemeriahan malam itu
mengatakan, “pesta itu saya rasa bahkan lebih meriah daripada semua pesta ulang
tahun Michael sebelumnya. He behaved like he was on the top of the world.”
He
was on the top of the world! Kesimpulan ini juga dimiliki Bondan sewaktu
mendengar berita kematian De Guzman. Hal inilah yang menyebabkan Bondan
berpikir bahwa kematian De Guzman dirasanya tidak biasa. Awal ketertarikan
Bondan dalam meliput kasus Bre-X bermula dari kematian De Guzman yang
dinyatakan bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari helikopter yang sedang
terbang di atas hutan Kalimantan. “Di situ saya mengatakan ini ngga mungkin.
Seorang wartawan investigatif itu punya sesuatu yang namanya professional
skepticism, dia udah ngumpulin duit begitu banyak kok tiba-tiba sekarang bunuh
diri,” jelas Bondan.
Empat
hari kemudian kecurigaan Bondan pun semakin menemukan alasannya. Mayat De
Guzman ditemukan oleh Martinus, seorang karyawan Bre-X yang turut membantu tim
SAR mencari mayat De Guzman. “Perasaan saya bicara lain ketika disuruh
mengikuti rombongan pencari, karena itu saya ajak Tahir menyisir hutan yang
sulit dilalui manusia,” ungkap Martinus pada Kompas waktu itu.
Akhirnya,
setelah bersusah payah menyusuri rawa, Martinus dan Tahir pun menemukan mayat
De Guzman. Ketika pertama kali ditemukan, mayat itu berada dalam posisi
tertelungkup di pinggir pohon yang besar.
Ketika
melihat foto mayat De Guzman kemudian, Bondan mengatakan bahwa hal ini tidak
mungkin. “Saya pernah lihat orang yang jatuh dari 1.500 kaki itu sudah ngga
berbentuk manusia, tapi sudah setumpuk daging sama tulang, jadi kalau 800 kaki,
ya hancur, ngga akan seperti itu,” ucap Bondan. Kesimpulan Bondan ini kemudian
diperkuat oleh seorang dokter di bagian otopsi National Bureau of Investigation
(NBI) di Filipina. Dokter tersebut mengatakan bahwa ciri-ciri trauma pada mayat
yang ditemukan tersebut tak tampak seperti jatuh dari ketinggian 800 kaki. Namun,
lebih tampak jatuh dari ketinggian sebuah pohon kelapa.
Saat
itu Bondan memutuskan bahwa kejadian ini tidaklah benar. Pria kelahiran
Surabaya, 29 April 1950 ini menganggap ada kejadian besar di belakang peristiwa
ini. Oleh karena itu, beberapa hari kemudian dimulailah reportase Bondan di
lapangan. Dalam waktu sebulan, ia melakukan reportase di Kalimantan, Filipina,
hingga Kanada.
Sebelum
kematian De Guzman, Bondan sebenarnya telah mengamati kasus Bre-X. Artikelnya
tentang penambangan yang dilakukan oleh Bre-X bahkan sempat dimuat oleh Wall
Street Journal pada 24 Januari 1997. Artikel itu dimuat dengan judul All That
Gitters: The Indonesian Gold Crush. Setelah pemuatan itulah Bondan dianggap
sebagai ahli tambang. “Jadi tiba-tiba pak Kuntoro mengundang saya untuk diskusi
di kantornya di Dirjen Pertambangan Umum dengan para Geolog. Itu mereka
memanggil saya prof, saya kaget,” ujar Bondan seraya tertawa. “Pak, saya bukan
geolog, justru dalam pertemuan ini saya ingin dengar dari bapak-bapak yang
memang ahli-ahli di bidang geologi,” jawab Bondan waktu itu. Pada akhir diskusi
tersebut, mereka semua sepakat dengan Bondan bahwa secara geologis Kalimantan
tidak memiliki potensi emas yang besar. Kuntoro yang dimaksud oleh Bondan
adalah Kuntoro Mangkusubroto, Direktur Jenderal Pertambangan Umum, Departemen
Pertambangan dan Energi waktu itu.
Meski
tidak memiliki kartu pers, Bondan tetap terus melakukan reportase. Dulu ia
memang sempat bekerja di dunia pers, mulai dari kameramen di Departemen
Pertahanan dan Keamanan, hingga menjadi pemimpin redaksi majalah SWA. Namun ia
akhirnya memutuskan keluar dari dunia pers untuk sementara waktu dan menjadi
pengusaha agar dapat membiayai pendidikan anak perempuannya bernama Gwendoline
di Amerika.
Sopan
santun adalah modal Bondan dalam menemui narasumber. Hal ini pula yang
menyebabkan Yohanes, seorang penjaga gudang Bre-X di Loa Duri, sebuah desa di
pinggir sungai dekat Samarinda, bersedia menerimanya. Padahal sebelumnya, semua
wartawan yang datang kesana diusir oleh Yohanes.
Bermodalkan sopan
santun, Bondan pun datang kesana. Pintu gudang diketuknya. Tak lama kemudian,
Yohanes pun muncul dari balik pintu.
“Selamat sore pak, nama
saya Bondan Winarno, saya dari Jakarta, saya mau menulis buku tentang Bre-X.”
“Anda bukan dari
wartawan Koran?”
“Bukan, saya mau nulis
buku, tapi anda boleh juga menyebut saya wartawan untuk menulis buku itu.”
“Bukan dari Kompas?”
“Bukan.”
“Bukan dari TEMPO?”
“Bukan.”
“Ya sudah, masuk.”
Seperti kebiasaannya,
dalam beberapa peliputan Bondan selalu membawa rokok meskipun ia sendiri tidak
merokok. Ditawarkannya rokok itu pada Yohanes. Setelah beberapa hisapan,
meluaplah kemarahan Yohanes.
“Wartawan Kompas itu
bohong pak, saya sudah ngomong gini-gini dia nulisnya lain, apalagi itu yang
dari Wall Street Journal, sampai saya diuber-uber orang, disangkanya
peracunannya disini,” ungkap Yohanes kesal.
Pada waktu itu,
beberapa pemberitaan di media massa mengatakan bahwa gudang Bre-X di Loa Duri
dijadikan sebagai tempat peracunan inti bor. Dalam istilah geologi, peracunan
inti bor itu dikenal dengan istilah salting. Dalam kasus Bre-X, peracunan ini
bertujuan untuk membuat daerah pengeboran tampak memiliki kandungan emas yang tinggi.
Yohanes
pun lantas mengemukakan alasannya mengapa gudang di Loa Duri tidak mungkin
menjadi tempat peracunan inti bor. Ia juga menunjukkan bukti-bukti pada Bondan
untuk menguatkan argumennya tersebut. Reportase Bondan kemudian juga
membuktikan ketidakmungkinan terjadinya peracunan inti bor di Loa Duri.
Dalam
melakukan reportase, Bondan kerapkali mengalami kesulitan. Namun, kesulitan
yang sangat dirasakan Bondan waktu itu disebabkan karena ia sudah berangkat
dengan suatu kesimpulan. Kesimpulan itu ialah bahwa De Guzman belum mati.
“Kesimpulan itu adalah hasil deduksi dan tidak ada orang yang percaya kecuali
saya sendiri,” ucap Bondan.
“Deduksi
itu adalah mengumpulkan semua informasi sekecil apapun kemudian merangkainya
dan melihat kaitannya dengan ini, kaitannya dengan ini, kaitannya dengan ini,
berarti kesimpulannya seperti ini,” jelasnya kemudian.
Saat
mengemukakan teorinya tentang De Guzman yang melakukan cheating death, Bondan
mengatakan ia dimusuhi oleh wartawan-wartawan Wall Street Journal. “Wartawan-wartawan
mereka itu tiba-tiba memusuhi saya karena saya mengatakan bahwa Wall Street
Journal salah dengan teori gudang Loa Duri itu sebagai tempat salting, mereka
malu disitu,” kenang
Bondan.
Bondan
merupakan orang pertama yang mengemukakan teori bahwa kematian De Guzman
merupakan sebuah penipuan. Wartawan Wall Street Journal tidak percaya pada
teori ini awalnya. Namun sepuluh tahun kemudian, di tahun 2007 kemarin,
wartawan Wall Street Journal ini menelepon Bondan.
“Bondan kamu benar.”
“Benar apa?”
“Ya, sekarang kita
mendapat informasi bahwa De Guzman ada di Brazil, dan istrinya, Genie yang ada
di Palangkaraya, masih tetap dapat kiriman uang.”
“Ok, tapi saya sudah
malas untuk mengejar lagi.
Setelah
merugikan para investornya lebih dari enam miliar dollar, Bre-X akhirnya
bangkrut pada tahun 2002. Sepuluh tahun setelah kasus Bre-X mengguncang dunia,
John Felderhof dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan Kanada pada 31 Juli
2007 kemarin. Koran Canadian Bussines menyebut peristiwa itu sebagai kekalahan
Kanada dalam perang melawan penjahat kerah putih.
Dalam
pengadilan itu, Felderhof disidangkan dengan tuduhan menyebarkan isu yang
menyesatkan dalam perdagangan saham dan melakukan insider trading. Insider
trading adalah istilah yang merujuk pada perdagangan saham atau sekuritas suatu
perusahaan yang dilakukan oleh orang-orang dalam perusahaan tersebut. Dalam
beberapa kasus, praktik ini legal di depan hukum. Meski begitu, praktik ini
dapat menjadi ilegal ketika perdagangan saham dilakukan berdasarkan informasi
internal perusahaan yang tidak disediakan untuk umum. Selain tidak adil, hal
ini akan menghancurkan pasar efek dengan merusak kepercayaan investor.
Pada
awal Juni 1998, David Walsh meninggal dunia karena serangan jantung di Nassau
Bahama. Saat harga saham Bre-X sedang tinggi, ia membeli rumah mewah di pulau
ini. Dalam lembar tambahan yang disisipkan di bukunya, Bondan mengatakan Walsh
adalah seorang perokok dan peminum berat, serta memiliki masalah kelebihan
berat badan.
Michael
de Guzman belum ditemukan hingga saat ini. Meski begitu, pada 26 Mei 2007 koran
Calgary Herald mengabarkan De Guzman sempat mengirim uang pada Genie, istri
keduanya yang bernama asli Sugini Karnasih yang tinggal di Indonesia. Dalam
artikel berjudul The Mystery of Michael de Guzman tersebut, De Guzman
dikabarkan menelepon rumah Genie enam pekan setelah ia dikabarkan tewas.
Telepon itu diangkat oleh pembantu Genie. Dalam percakapan di telepon itu, De
Guzman meminta Genie memeriksa rekeningnya. Setelah diperiksa, ternyata Genie
memperoleh kiriman uang sebesar 200 ribu dollar Amerika. Pada tahun 2005, Genie
menerima fax dari Brazil. Dalam fax tersebut, Genie mendapat pemberitahuan
bahwa ia menerima kiriman uang sebesar 25 ribu dollar Amerika. Kiriman itu ia
terima pada hari Valentine. Hari yang sama dengan hari ulang tahun De Guzman.
“Sepanjang
sejarah, kalau sudah soal emas orang jadi kehilangan akal, akal sehatnya ngga
jalan, seolah-olah di kaki pelangi itu akan ada emas yang berbukit-bukit,”
ungkap Bondan menjelaskan maksud dari judul buku Bre-X, Sebungkah Emas Di Kaki
Pelangi, yang ditulisnya. Buku ini banyak disebut sebagai the best
investigative report yang ditulis oleh orang Indonesia.
Namun
ironisnya, pengakuan itu baru datang beberapa tahun setelah buku ini pertama
kali diterbitkan. “Pertama kali muncul pengakuan itu saya kira sekitar tahun
2003 oleh ISAI (Institut Studi Arus Informasi). Andreas Harsono memakai buku
itu sebagai suatu contoh dalam pelatihan di bidang jurnalisme investigasi,”
ungkap Bondan. Andreas Harsono adalah anggota International Consortium for
Investigative Journalists (ICIJ) dari Indonesia selain Goenawan Mohamad, salah
satu pendiri majalah TEMPO. “Sekarang kan buku saya dianggap oleh ISAI sebagai
buku jurnalisme investigasi terbaik, saya bilang, ya, ok, terlambatlah,” lanjut
pria yang sejak kecil sudah bercita-cita menjadi wartawan ini seraya tertawa.
Beberapa
waktu setelah buku ini beredar, Bondan akhirnya menarik buku ini dari pasaran
karena adanya tuntutan dari Ida Bagus Sudjana, Menteri Pertambangan dan Energi
waktu itu. Sudjana menuntut Bondan atas dasar pencemaran nama baik dan meminta
ganti rugi sebesar 1 triliun rupiah serta pemasangan iklan permohonan maaf di
sepuluh media cetak di Jakarta dan dua media cetak di Bali.
Salah
satu penyebab tuntutan Sudjana ini adalah karena Bondan menulis tentang
inkompetensinya dalam hal kebijakan tambang. Namun, tulisan Bondan mengenai hal
ini bukanlah tanpa dasar. Pers asing seperti Canadian Bussines menguatkan
inkompetensi Sudjana ini. Brian Hutchinson, seorang wartawan Canadian Bussines
mengatakan dalam salah satu artikelnya, “The tall, stiff Sudjana has no grasp
of the technicalities of mining. He is completely incompetent, he leaves
everything to his advisers.” Bahkan, mantan anak buah Sudjana menelepon Bondan
dan mengatakan, “pak Bondan, dia sekarang sudah bukan bos saya, jadi kalau
bapak mau, saya bersedia menjadi saksi karena semua pidato dia di luar negeri
saya yang bikin,” ujar Bondan menirukan ucapan mantan anak buah Sudjana.
Menurut
Bondan, latar belakang tuntutan Sudjana itu sebenarnya adalah tuduhan bahwa ia
dibayar oleh Kuntoro Mangkusubroto untuk menulis buku tersebut. Tuduhan inilah
yang menjadi salah satu hal paling menyakitkan yang diterima Bondan setelah
menulis buku ini. “Itu untuk saya sangat memalukan. Dia menyangka saya itu
seorang wartawan kere (miskin) yang ngga punya duit. Jadi dia heran kok ini
orang bisa kemana-mana. Tapi dia lupa, sebelum melakukan itu kan saya sudah
pernah jadi presiden dari Ocean Beauty di Amerika. Lihat saja gaji saya berapa,
ngga usah susah-susah. Itu untuk menunjukkan bahwa saya a man of resources.
Saya mampu mendanai semua itu dari uang saya sendiri. Itu bukan untuk
menyombongkan diri, tapi kenyataannya memang begitu,” ungkap Bondan kesal.
Menurut
Bondan, kalau seseorang menulis atas pesanan seseorang, maka nama orang yang
memesan itu akan ditulis paling banyak. Padahal ketika dihitung, nama Ida Bagus
Sudjana lebih banyak disebut oleh Bondan daripada nama Kuntoro Mangkusubroto.
“Lha kalau dilihat dari sini yang paling pantas membayar saya malah bapak,”
jelas Bondan pada Ida Bagus Sudjana waktu itu.
Bondan pun menolak jika
dikatakan ia terlalu memuji Kuntoro di dalam bukunya. “Kalau mengagung-agungkan
menurut saya ngga, karena saya tulis apa adanya, memang dia bener kok disitu.
Coba aja, ada ngga kalimat yang ngga perlu yang saya tulis mengenai Kuntoro,
yang ngga ada kaitannya dengan ini, ya ngga ada. Saya memang kenal sama pak
Kuntoro, itu bukan rahasia. Tapi itu bukan berarti saya dibayar dia, yang bener
aja,” ungkap Bondan sedikit emosi.
Hal
lain yang menyakitkan Bondan adalah karena tidak adanya dukungan dari sesama
wartawan atas tuntutan yang diterima Bondan. “Karena saya memang tidak mewakili
siapa-siapa, saya tidak mewakili lembaga, saya kan atas nama diri sendiri dan
mereka tidak melihat itu. Mungkin kalau saya mati baru mereka membela. Tapi
karena saya ngga mati ya sudahlah, it’s your own, itu salib kamu sendiri, pikul
sendirilah,” ujar Bondan mengemukakan alasan kenapa tidak ada wartawan yang
mendukungnya saat itu. “Padahal waktu TEMPO disikat sama Tomy Winata, saya jadi
ketua untuk Gerakan Anti Premanisme. Waktu itu, yang mau membela saya justru
World Bank,” tambahnya.
Saat
tuntutan Sudjana ini bergulir ke meja hijau, Bondan bekerja sebagai konsultan
di World Bank. Suatu ketika, Bondan mengantar Dennis de Tray, Country Director
World Bank untuk bertemu dengan Hartarto, Menteri Koordinator dan Distribusi
waktu itu. Setelah Bondan memperkenalkan diri, Hartarto pun membentak Bondan
dengan suara tinggi, “Oo..kamu ya yang namanya Bondan Winarno!” Bondan pun
menjawab, “iya pak.” Namun, Hartarto segera memelankan suaranya setelah
tersadar bahwa Dennis de Tray juga berada disitu bersama Bondan.
Setelah pertemuan itu,
Dennis pun bertanya pada Bondan.
“Kenapa kamu dibentak
sama Hartarto?”
“O iya, dalam kasus
Bre-X itu saya mempersoalkan keterlibatan Airlangga Hartarto, anak dia di
Bre-X.”
“Lho ada masalah apa?”
Bondan pun lantas
menceritakan perihal tuntutan Sudjana itu kepada Dennis.
“Bondan, kamu jangan
sampai takut ya menghadapi ini, kita bantu ongkos perkaranya.”
“Ngga mau”
“Ini bukan dari World
Bank, tapi dari teman-teman kamu di World Bank.”
“Ngga mau, karena
begitu ketahuan saya terima uang dari kamu dan teman-teman, nanti akan ada
cerita lain. Please, saya terima kasih kamu kasih dukungan moral, ini berat
untuk saya tapi biar saya bayar sendiri,” ucap Bondan waktu itu.
Dukungan dari World
Bank ini sangat berarti bagi Bondan. Saat terjerat kasus ini, Bondan
menyampaikan pengunduran dirinya pada World Bank. Peraturan World Bank tentang
pegawainya yang terlibat dalam masalah hukum sangat tegas. Apalagi Bondan saat
itu dituntut secara pidana dan perdata. Namun World Bank justru tidak menerima
pengunduran diri Bondan ini. “Ngga, kamu ngga mengundurkan diri, kamu tetep,
kita tahu bahwa masalah kamu adalah masalah yang justru menegakkan anti
korupsi,” ucap Bondan menirukan penjelasan World Bank waktu itu.
Sebelum
tuntutan Sudjana ini bergulir ke meja hijau, Bondan sebenarnya sudah akan
menerbitkan buku ini dalam bahasa Inggris. Dalam waktu cepat, Bondan telah
menerjemahkan buku ini kedalam bahasa Inggris. Ia bahkan telah membayar seorang
editor Kanada bernama Wendy Thomas.“Tadinya itu pertimbangannya betul-betul
bussines waktu saya mau setengah mati membuat buku itu selesai dalam satu bulan
dan menerbitkannya sendiri. Saya pikir buku ini bakal laris, yang dalam bahasa
Inggris juga laris, bahkan bisa jadi film di Hollywood sana, saya akan meraup
keuntungan lah. Tapi semuanya gagal hanya karena tuduhan yang kemudian
menyulitkan saya,” ungkap Bondan. Bondan pun akhirnya mengurungkan niatnya
untuk menerbitkan buku ini dalam edisi bahasa Inggris. Sebuah keputusan yang
lantas disesali oleh Bondan kemudian.
Teror
merupakan hal yang ditakuti Bondan saat itu. Suatu ketika, istri Bondan yang
bernama Yvonne Raket ketakutan karena ditelepon oleh seseorang yang mengaku
sebagai tentara. Orang itu mengatakan akan menyita rumah Bondan. Saat itu
Bondan berkata pada istrinya, “ya sudahlah, kalau kita memang akan kehilangan
semuanya apa boleh buat, karena kita berhadapan dengan penguasa.”
Meski
akhirnya kalah di pengadilan, namun tuntutan Sudjana itu tidak pernah dipenuhi
oleh Bondan. Hal ini disebabkan karena Sudjana telah meninggal dunia terlebih
dahulu. “Untuk dia poinnya cuma satu, dia sudah bisa menyatakan bahwa dia
menang di pengadilan. Pengadilan yang dia bayar tentunya,” ucap Bondan.
Meski
sempat menuai hasil pahit dari jerih payahnya menulis kasus Bre-X, Bondan tidak
kapok untuk melakukan reportase investigasi lagi. Menurut Bondan, selama ada
the burning issue yang membakarnya seperti kematian De Guzman, ia tak akan ragu
untuk turun lagi ke lapangan.
Saat
ini sebenarnya ada sebuah the burning issue yang membuat Bondan ingin kembali
melakukan investigasi. Persoalan yang membakar Bondan ini adalah masalah impor
beras. Namun menurut Bondan, hal ini diluar kemampuannya.
Dalam
persoalan ini, Bondan mempertanyakan kebijakan impor beras yang dilakukan oleh
pemerintah. “Jangan-jangan ini semua adalah isu-isu yang dibuat sedemikian rupa
sehingga kita percaya. Jangan-jangan sebetulnya kita cukup beras. Saya ngoyo
(bekerja keras) untuk mencari tahu jawaban-jawabannya karena beras adalah
komoditas politik. Beras adalah komoditas korupsi. Disitu ada
kepentingan-kepentingan yang mempertahankan tetap berlangsungnya impor beras,”
jelas Bondan.
Bagi
Bondan, terdapat dua modal utama yang harus dimiliki oleh seorang wartawan
investigasi. Kedua bekal itu adalah otak dan nurani. “Kalau tanpa otak, ngga
ketemu itu. Tapi kalau ngga ada nurani, ini semua ngga bisa dirangkai,” tegas
pria yang berpendapat tantangan menjadi seorang wartawan adalah harus berani
miskin.
Jiwa
investigasi Bondan tidak dapat dilepaskan dari sosok Lord Baden Powell, seorang
Letnan Jenderal kelahiran Inggris yang menjadi idolanya sejak kecil. Baden
Powell adalah seorang intelijen yang menjadi pendiri gerakan kepanduan dunia.
“Saya berpikir ini orang cerdas betul, berarti intelijen itu bukan kayak
spion-spion melayu saja, tapi betul-betul orang yang dengan otaknya mencari
segala macam informasi untuk mengambil suatu kesimpulan. Nah, semangat itu yang
ada di diri saya sejak kecil,” ungkap pria yang pernah menerima Baden Powell
Adventure Award pada tahun 1967 ini ketika mengikuti Jambore Dunia yang ke 12
di Idaho, Amerika.
Sebelum
menerbitkan buku tentang kasus Bre-X, Bondan juga pernah menerbitkan buku
tentang kasus Tampomas. Dalam buku berjudul Neraka Di Laut Jawa tersebut,
Bondan melakukan investigasi atas kecelakaan kapal Tampomas II di laut
Masalembo. Saat itu, Bondan mengatakan letak kesalahan yang menyebabkan ratusan
korban meninggal dunia adalah Junus Efendi Habibie, atau yang lebih dikenal
dengan nama Fanny Habibie. Ia adalah adik kandung B.J. Habibie yang waktu itu
menjabat sebagai Dirjen Perhubungan Laut.
Malam
ketika kapal Tampomas II sedang terbakar di laut Masalembo, Fanny Habibie
berbicara di TVRI dan mengatakan bahwa keadaan sudah terkendali. Akibatnya,
kapal dari Angkatan Laut Surabaya yang sudah berangkat untuk menarik kapal
Tampomas II justru kembali lagi. Padahal keesokan paginya, kapal Tampomas II
tersebut masih terbakar. Ketika kapal dari Angkatan Laut Surabaya tadi hendak
berangkat kembali menuju lokasi terbakarnya kapal Tampomas II, mesin kapal ini
justru tidak mau jalan. “Itu sebabnya sampai sekarang pak Fanny Habibie itu
memusuhi saya, karena saya menunjuk kesalahannya kamu! Kenapa sih pakai gengsi
-gengsian, wong kapal terbakar kok dibilang sudah terkendali,” ungkap Bondan
kesal.
“Ketika
saya berumur 48 tahun, saya takut akan mati di usia muda,” ucap Bondan sedikit
menerawang. Oleh karena itu, pada usia 50 tahun Bondan memutuskan untuk
pensiun. Ketakutan ini disebabkan karena ayah Bondan, Imam Soepangat, meninggal
di usia 55 tahun, sedang kakak lelakinya, Harso Widodo, meninggal di usia 52
tahun. “Jadi saya pikir, umur saya barangkali cuma 55,” lanjut anak ketiga dari
delapan bersaudara ini.
Bondan
akhirnya sempat pensiun, namun hal ini tak berlangsung lama. Pada tahun 2001 ia
diminta untuk menjadi Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan. “Waktu itu saya diminta
untuk membantu, ya saya hanya setuju untuk tiga tahun saja,” ujar Bondan.
Ketertarikan
Bondan pada liputan kuliner bermula pada tahun 2004 ketika ia telah
menyelesaikan pekerjaannya di Suara Pembaruan dan memutuskan untuk pensiun.
Meski telah pensiun, Bondan tidak ingin berhenti menulis. Saat itulah, Ninok
Leksono dari Kompas menawarinya untuk menjadi penulis kolom di Kompas Cyber
Media.
“Mas, nulis sing
gampang-gampang wae, sing enteng-enteng.”
“Opo?”
“Ya pariwisata, travel,
jalan-jalan, kan mas Bondan suka jalan-jalan.”
“O iya to, boleh.”
Akhirnya Bondan pun mulai menulis tentang pariwisata di kolom Jalan sutra.
Jalan sutra berarti
pengetahuan tentang jalan-jalan. Semula Bondan menulis tentang jalan-jalannya,
tapi lambat laun ia pun mulai menulis tentang kuliner. “Jadi as simple as that,
mencari bidang yang belum digeluti sama orang,” jawab Bondan perihal awal mula
ketertarikannya meliput di bidang kuliner.
Menurut
Bondan, dunia kuliner bisa menjadi sebuah kekuatan ekonomi. “Orang yang dalam
kategori pengusaha di Indonesia ada 52 juta. Dari 52 juta ini, yang kelasnya di
atas sepuluh milyar itu kurang dari dua juta. Jadi selebihnya, yang 50 juta ini
pedagang-pedagang kecil. Nah, dari 50 juta ini, yang terbanyak bergerak di
bidang makanan. Baik yang mulai berkebun, ke pasar, sampai makanan jadi. Sudah
pasti. Kalau ngga percaya itung aja,” ujar penggemar makanan Manado ini seraya
tertawa.
Oleh
karena itu, Bondan tidak menganggap sebelah mata dunia kuliner. Jutaan
pengusaha yang bekerja di bidang kuliner adalah pengusaha gurem, sehingga
menurutnya, isu kuliner ini harus diperbaiki. “Masa depan anak-anak itu
tergantung pada makanan, kalau makanannya ngga bener, ngga bener juga nanti
masa depannya,” jelas Bondan.
“Saya
itu sedang mencari makanan apa sih yang sebetulnya bisa menjadi makanan bangsa
Indonesia yang baik, akhirnya saya temukan itu. Namanya dalam bahasa Jepang
adalah Konyaku,” ungkap Bondan. Konyaku terbuat dari umbi yang di Jawa dikenal
dengan nama iles-iles. Iles-iles ini banyak terdapat di Indonesia, Cina, dan
India. Dilihat dari segi kesehatan, kelebihan Konyaku adalah nol kalori.
Sedangkan dari segi pertanian, kelebihan Konyaku adalah ia tidak membutuhkan
banyak air seperti padi. “Dan ternyata proses produksinya juga simple, jadi
secara teknis kita sudah bisa membuatnya,” tambah Bondan yang mulai tahun 2010
ini tidak pernah makan nasi di rumah karena ingin mengurangi tingkat konsumsi
beras.
Ketika
ditanya tentang hal apa yang ingin dilakukan namun belum kesampaian hingga saat
ini, dengan bergurau Bondan menjawab, “saya pengen jadi Duta Besar tapi ngga
tau ngelamarnya kemana,” katanya seraya tertawa. Namun, gurauan ini segera
tergantikan oleh jawaban serius Bondan selanjutnya, ia ingin jadi motivator.
“Sekarang itu kan banyak motivator, tapi kalau anda perhatikan, semua motivator
ini honornya besar sekali. Sekali ngomong bisa 50 juta, paling murah itu
katanya 20 juta. Lha, lalu yang dimotivasi itu siapa kalo honornya segitu. Anda
ngga kuat bayar, ngga bisa ikut seminar mereka,” ungkapnya.
Suatu
ketika, karena penasaran Bondan datang ke suatu acara motivasi. Baginya, acara
motivasi yang dihadirinya waktu itu hanya omong kosong. Hal inilah yang
mendorongnya untuk menjadi motivator. “Saya ngga perlu dibayar, saya ngga mau
dibayar, tapi saya kepingin dikasih tempatnya, dikasih panggungnya untuk
ngomong,” ujar Bondan.
Buruknya
Sumber Daya Manusia di Indonesia menjadi alasan kenapa Bondan ingin menjadi
seorang motivator. Ia menjelaskan hal ini dengan mengacu pada rendahnya tingkat
Human Development Index (HDI) di Indonesia yang diterbitkan setiap tahun oleh
United Nations Development Programme (UNDP). “Kalau saya lihat angka ini saya
malu. Tapi apakah calon-calon presiden kemarin memakai angka-angka itu sebagai
suatu janji kampanye mereka. Ngga ada. Jangan-jangan mereka juga ngga tahu
bahwa kondisi kita itu begitu terpuruk,” ungkap pria yang sempat kuliah di
jurusan arsitektur Universitas Diponegoro ini meski akhirnya tidak diselesaikan
karena masalah ekonomi.
“Jadi
kita harus mengubah itu. Mengubah dengan apa, ya sudahlah, anda akan menjawab
sistem persekolahan yang jelek segala macam, tapi jangan percaya sama sekolah
dong kalau gitu, percaya sama diri sendiri. Ambil nasib kamu ke tangan kamu
sendiri sekarang! Jangan nunggu siapa-siapa. Perbaiki dirimu sekarang!” tegas
Bondan dengan nada serius.
3. Opini
Penulis
Dari
kasus dia atas penulis dapat menyimpulkan bahwa terdapat Penyimpangan yang
terjadi, tak terkecuali penyimpangan profesi akuntansi dan profesi bisnis.
Berdasarkan kasus Bre x terdapat beberapa penyimpangan etika profesi akuntansi
yaitu penipuan tingkat professional yang dilakukan oleh Bre x kepada para
investornya dengan berkedok terdapatnya jutaan emas di Kalimantan yang membuat
para investor tergiur untuk melakuan investasi dan memanipulasi saham tambang
Bre x sehingga saham Bre x terlihat melambung tinggi, dalam hal ini Bre x
melakukan penipuan dan pelanggaran hukum yang sangat besar dampaknya bagi
banyak negara dan sangat merugikan banyak pihak dengan terkenanya penipuan
dalam bentuk investasi.
4.
Profesionalisme KAP
Dalam
masalah tersebut terlihat bahwa sangat kurangnya profesionalisme seorang
auditor dalam menghadapi kasus seperti ini. Seharusnya seorang auditor harus
memiliki keahlian dalam menganalisis suatu laporan keuangan, kinerja perusahaan
dan mengenali setiap tahap mekanisme laporan keuangan dan cara kerja karyawan
yang ada di dalam perusahaan tersebut, dan tidak bertindak cepat ketika
terlihat nilai saham Bre x naik drastic, sebelum saham Bre x naik seharusnya
auditor mengecek terlebih dahulu kejanggalan erhadap kenaikan harga saham
tersebut dan mengungkapkan kecurangan didalamnya, melaporkan laporan tersebut
berdasarkan fakta dan bertindak sesuai dengan kode etik auditor dan memiliki
sikap indepedensi mental. Pada kasus diatas auditor tidak menerapkan kode etik
sebagai dasar profesinya, tidak memiliki independesi mental, sehingga kemahiran
profesional dari auditor salah digunakan, auditor lebih memilih untuk menutupi
penipuan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, atau bahkan bersekongkol
dengan perusahaan melakukan kecurangan sehingga merugikan banyak pihak.
Bodoh Gold: Pembuatan Pasar Penipuan global oleh Brian Hutchinson (. Pub oleh Alfred A. Knopf, 1998)